Berita - Sumedang,
Berdasarkan keadaan, waduk dibuat untuk generasi hidro-elektrik juga dapat
mengurangi atau menambah produksi bersih dari gas rumah kaca. Peningkatannya
dapat terjadi jika terdapat pembusukan material tumbuhan di daerah banjir di
anaerobik melepaskan lingkungan (metana dan karbon dioksida).
Siswa dari Institut
Nasional untuk penelitian dari Amazon menemukan bahwa waduk hidroelektrik
melepas karbondioksida dalam jumlah besar akibat membusuknya pohon-pohon yang
telah tumbang di waduk, khususnya selama dekade pertama setelah penutupan. Hal
ini membuat dampak pemanasan global dari bendungan meningkat jauh lebih tinggi
daripada pembangkit listrik yang menghasilkan kekuatan yang sama dari bahan
bakar fosil. Menurut laporan World Commission on Dams, ketika bendungan relatif
besar, emisi gas rumah kaca dari reservoir bisa lebih tinggi daripada
pembangkit listrik berbahan bakar minyak konvensional. Sebagai contoh, pada
tahun 1990, dampak impoundment di balik Balbina Dam di Brasil (diresmikan pada
1987) pada pemanasan global 20 kali lebih besar dari pembangkit listrik yang
menghasilkan kekuatan yang sama dari bahan bakar fosil.
Permasalahan utama di semua ekosistem perairan di Indonesia adalah
eutrofikasi (pengkayaan nutrien), sedimentasi, dan pencemaran. Apabila
sumberdaya perairan dan ekosistemnya rusak, maka energi yang merupakan sumber
fungsi utama akan menjadi masalah yang serius. Perairan merupakan indikator
pertama yang menerima dampak dari kerusakan ekosistem tersebut. Salah satu
penyebab terjadinya kerusakan ekosistem perairan adalah perubahan iklim. Dampak
adanya fenomena penyimpangan iklim yang terjadi di wilayah Indonesia di
antaranya: banjir, longsor, kekeringan, gagal panen, gagal tanam, kebakaran
hutan, gelombang pasang, dan angin puting beliung (Rusbiantoro, 2008).
Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata di atmosfir, laut, dan
daratan. Bagi Indonesia, meskipun konstribusinya terhadap percepatan pemanasan
global tidak sebesar negara-negara maju, tetapi tetap menjadi perhatian dalam
pembahasan iklim global. Hal utama yang diperhatikan dari Indonesia terhadap
percepatan pemanasan global di antaranya percepatan kerusakan hutan, padahal
hutan tropis merupakan paru-paru bumi yang menyerap paling banyak karbon dari
udara (Rusbiantoro, 2008).
Pemanasan global diproyeksikan
akan berpengaruh terhadap kondisi ekosistem, kondisi sosial dan ekonomi,
meningkatnya tekanan terhadap sumber mata pencaharian yang berimplikasi pada
penyediaan pangan, termasuk pengaruhnya bagi kegiatan akuakultur. Di bidang
akuakultur, perubahan yang terjadi baik berupa tingkat produktivitas,
distribusi, komposisi spesies, dan lingkungan sehingga dapat menyebabkan
perubahan dalam operasional akuakultur. Menurut Cochrane et al. (2009), ada
empat kategori pengaruh signifikan dari pemanasan global terhadap ketahanan
pangan yaitu: (1) ketersediaan (availability) pangan akan bervariasi karena
perubahan lingkungan, ketersediaan stok ikan, dan distribusinya; (2) stabilitas
(stability) penyediaan pangan akan terpengaruh karena perubahan musim,
meningkatnya perubahan produktivitas ekosistem dan variabilitas suplai pangan,
dan risiko; (3) akses (access) kepada sumber pangan akan dipengaruhi karena
perubahan mata pencaharian dan kesempatan berusaha; dan (4) pemanfaatan
(utilization) dari produksi perikanan juga akan terpengaruh, sebagai contoh masyarakat
perlu menyesuaikan diri dengan jenis ikan yang sebelumnya belum pernah
dikonsumsi.
Global Warming
Perubahan iklim merupakan situasi yang
saat ini kita hadapi dan tidak dapat ditawar lagi kecuali dengan meredam
lajunya. Yakni dengan memahami proses-proses yang terjadi di alam, wawasan kita
dapat dibuka tentang bagaimana dan mengapa iklim itu berubah.
Dari itulah kita akan sadar bahwa secara
alamiah iklim itu memang akan berubah meskipun tanpa campur tangan manusia.
Tetapi hal tersebut dipercepat dengan adanya aktivitas manusia, berawal dari
revolusi industri hingga kini, maka iklim berubah dengan drastis.
Mungkin semua orang
tahu bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas
rumah kaca di udara yang menyebabkan temperatur di permukaan bumi meningkat. Kita
juga mungkin paham bahwa hutan kita adalah paru-paru dunia karena kemampuannya
menyerap karbon dioksida (CO2), sehingga kita berusaha untuk menjaga hutan agar
tetap hijau dan menghijaukan area terbuka. Namun, belum banyak yang paham bahwa
perairan kita yang sangat luas itu juga memiliki potensi dalam mengatur
kesetimbangan CO2 di atmosfer. Potensinya adalah dapat sebagai penyimpan dan
atau penyumbang CO2. Tetapi, kita belum tahu persis potensi yang mana yang kita
miliki.
Waduk adalah ekosistem
perairan yang menerima input materi dari ekosistem daratan, termasuk karbon.
Apabila materi tersebut adalah makhluk hidup atau sisa dari makhluk hidup,
suatu saat materi tersebut akan terdegradasi menghasilkan anorganik karbon yang
salah satunya adalah CO2. Memang benar, material organik tadi dapat terbenam di
dasar danau, tetapi hampir semua danau yang ada di Indonesia dapat mengalami
pengadukan sempurna sehingga CO2 dan material lainnya di dasar itu mampu
kembali ke permukaan. Adanya aktivitas fotosintesis-respirasi memengaruhi CO2
di permukaan, tetapi tidak cukup signifikan karena keduanya berada cukup
seimbang. Lebih lanjut jika konsentrasi CO2 di lapisan permukaan air sangat
tinggi dan jenuh, CO2 akan terlepas ke udara. Sehingga bisa dibayangkan, jika
waduk Jatigede mempunyai luas sebesar ± 1.711,11 ha meliputi Desa Cijeungjing,
Desa Jemah, Desa Sukakersa, Desa Ciranggem dan Desa Mekarasih, bila telah
terair semuanya, maka CO2 yang terlepas ke udara dan menjadi penyumbang emisi
gas rumah kaca juga besar.
Waduk hanyalah salah
satu bagian dari siklus karbon yang mungkin terlewatkan dalam pemikiran kita
sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca. Wajib dipahami bahwa untuk menurunkan
emisi gas rumah kaca, haruslah ditelaah semua segi kehidupan, termasuk perilaku
kehidupan sehari-hari karena manusia merupakan pemeran utama dalam beberapa
siklus yang ada di muka bumi.
Sumbangsih waduk pada
emisi gas rumah kaca di udara bertolak secara alamiah. Namun, pengelolaan waduk
yang salah arah dapat menyebabkan waduk itu berperan sebagai penghasil emisi
gas rumah kaca yang sangat potensial. Cukup banyak waduk di Indonesia yang mengalami
tekanan lingkungan sehingga memiliki potensi melepas emisi gas rumah kaca dalam
jumlah yang besar.
Material organik,
seperti sisa aktivitas pertanian, pakan ikan, lumpur, dan pencemar lainnya
sangat berpotensi untuk terdegradasi menjadi emisi gas rumah kaca. Memang,
perlu ada penelitian lebih lanjut dan detail pada ekosistem ini agar peran
masing-masing dapat lebih dipahami.
Dampak Global Warming Terhadap Waduk Jatigede
Dampak Global Warming Terhadap Waduk Jatigede
Adapun kaitannya
dengan perubahan ekosistem fauna di waduk jatigede, maka hal tersebut perlu
dikaji lagi, karena pada hakikatnya perubahan iklim dapat mengubah rantai
makanan di dalam waduk Jatigede secara keseluruhan dan sumber daya perikanan
pada khususnya. Berubahnya rantai makanan akan memberikan perubahan struktur
populasi perikanan yang tidak dikehendaki. Fenomena ini sudah banyak teramati
di Indonesia, antara lain ditandai dengan bergesernya musim ikan, dan
berubahnya fishing ground kelompok ikan jenis tertentu.
Skenario yang tidak
menyenangkan ini tidak hanya terbatas pada perikanan tangkap, tapi juga
terhadap perikanan budidaya antara lain melalui pengaruh berbahaya kualitas
air, peningkatan penyakit pest dan penyakit-penyakit lainnya. Sumberdaya waduk
jatigede jika tidak diwaspadai dapat berada pada situasi yang kritis dan
terancam.
Meningkatnya suhu
permukaan air menyebabkan beberapa jenis ikan akan beradaptasi dengan mengubah
kelaminnya menjadi jantan. Akibatnya, suatu kawasan tertentu akan didominasi
ikan berjenis kelamin jantan. Hal itu tentu saja bisa mengancam perkembangbiakan
ikan. Pada prinsipnya perubahan iklim akan menyebabkan biota yang sensitif
terancam punah, sedangkan biota yang adaptif akan mempertahankan hidupnya
dengan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Sebuah studi populasi
ikan di sungai-sungai, danau, Laut Baltik dan Laut Utara yang dilakukan oleh
Dr. Martin Daufresne di Institut Riset Pertanian Publik dan Lingkungan Cemegref
di Lyon, Prancis menemukan penyesuaian antara air yang memanas dan ukuran ikan
yang menyusut.
Ia mengatakan bahwa bahkan plankton
dan bakteria telah berkurang ukurannya karena air yang memanas, studi tersebut
juga menemukan bahwa hewan-hewan air ini telah kehilangan setengah massa tubuh
rata-rata mereka dalam 20 – 30 tahun terakhir, dengan spesies lebih kecil
sekarang membentuk proporsi populasi ikan yang lebih besar. Dalam penelitian
hewan darat, efek penyusutan yang sama telah teramati dalam domba Skotlandia.
Dan ini pula yang harus diwaspadai pada waduk jatigede, meskipun harus ada
penelitian yang lebih akurat.
Waduk Jatigede Semakin Hangat
Selain penelitian di
atas, ternyata ada tren menarik di waduk Jatigede, yaitu peningkatan suhu air
waduk Jatigede dalam 3 bulan ini. Hal ini mungkin tidak pernah terfikirkan
karena biasanya penelitian terkonsentrasi pada degradasi kualitas air.
Meningkatnya suhu
permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat ekstrim di
bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan, perairan dan ekosistem
lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di
atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan meningkatnya suhu , belum lagi
ditambah dengan sedimentasi akibat erosi lahan, sehingga air mengembang dan
terjadi kenaikan permukaan air yang mengakibatkan usia waduk semakin berkurang.
Menurut penelitian, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5
°C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan
menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 °C sekitar tahun 2030.
Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak
gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini
akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat, termasuk pada
perairan waduk Jadigede yang semakin menghangat.
Dari pemantauan di
waduk Jatigede, akibat suhu waduk Jatigede yang menghangat, maka menyebabkan
meningkatnya uap di waduk Jatigede. Penguapan di waduk Jatigede adalah
sebesar 3 ml/m3. Jika volume waduk jatigede adalah sebesar 6 milyar m3, maka
penguapan waduk jatigede adalah sebesar 18 juta liter/hari. Hal ini menyebabkan
penguapan di waduk Jatigede sangat besar yang mnyebabkan hujan ekstrem dan
mempengaruhi iklim yang ekstrem di sekitarnya.
Namun, peran serta
seluruh pihak, baik dari masyarakat, pemerhati maupun pemerintah sangatlah
dibutuhkan dalam menyikapi isu perubahan iklim ini, terutama di waduk jatigede.
Kita bisa melakukan upaya pengendalian supaya unsur-unsur karbon penyumbang
emisi gas rumah kaca dikurangi, seperti melakukan penghijauan, mengurangi
jumlah jaring apung, dan mengurangi masuknya limbah dari pertanian maupun
industri. Lakukan apa yang bisa kita lakukan, sekecil apapun.
0 komentar:
Posting Komentar